Poster MPI (Tugas_UAS_APLIKOM) |
Cari Blog Ini
Selasa, 21 Juni 2016
Selasa, 14 Juni 2016
POTRET KEBERADAAN PESANTREN SEBAGAI WARISAN WALISONGO
POTRET KEBERADAAN PESANTREN SEBAGAI
WARISAN WALISONGO
LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang memiliki penganut terbanyak di
nusantara, dan yang menjadi fokus utama dalam pembahasan ini adalah Islam yang
terdapat di wilayah Jawa. Jawa sendiri termasuk ke dalam wilayah di Indonesia,
dimana di wilayah tersebut terdapat berbagai macam kebudayaan serta tradisi
yang kental. Islam mulai diperkenalkan ke wilayah Jawa oleh para ulama-ulama
pada masa itu, yang hingga saat ini lebih dikenal dengan Walisongo. Walisongo
melaksanakan dakwahnya di wilayah Jawa yaitu dengan cara menggunakan tradisi
maupun budaya lokal setempat, karena lebih mudah untuk diterima di masyarakat.
Walisongo juga memiliki warisan dalam bidang ilmu pengetahuan,
yakni adanya pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan yang memiliki pengaruh besar bagi nusantara. Santri yang menimba
ilmu di suatu pondok pesantren diharapkan kelak mampu menjadi orang yang ahli
di berbagai disiplin ilmu, mampu menanggapi tantangan zaman tanpa mengabaikan
ajaran Al-qur’an dan Hadits yang telah diajarkan di pesantren. Pesantren
dikatakan sebagai salah satu lembaga yang berperan penting bagi terbentuknya
suatu generasi yang bermoral.
DATA
Berbicara tentang Islam dan budaya Jawa, bisa jadi pemikiran kita
akan langsung tertuju pada fenomena adanya berbagai macam kebudayaan-kebudayaan
yang terdapat di tanah Jawa, serta keterkaitan Islam terhadap
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Di samping itu, jika kita menelisik lebih jauh
serta mencoba memahami lebih dalam tentang pesona yang terdapat dalam
kebudayaan-kebudayaan Jawa, maka kita akan tahu bahwa sebenarnya banyak sekali
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana yang kita ketahui,
Walisongo misalnya, mereka merupakan ulama-ulama yang menyebarkan agama Islam
di tanah Jawa. Dalam dakwahnya, mereka tidak hanya menyebarkan agama Islam
secara apa adanya tanpa ada cara-cara khusus dalam pelaksanaanya.
Para wali dalam menyampaikan dakwahnya menjumpai banyak rintangan.
Rintangan yang mereka hadapi bukanlah semudah yang kita bayangkan, sehingga
para walipun berfikir dengan cara apakah agama Islam dapat diterima secara
terbuka di tanah Jawa tersebut. Wilayah Indonesia, khususnya di daerah Jawa,
memiliki keberagaman budaya yang luar biasa. Maka cara yang cocok dilakukan
oleh para wali tersebut adalah dengan memasukkan budaya-budaya Jawa di dalam
dakwah mereka, sehingga mudah diterima. Memasukkan budaya setempat dalam proses
dakwah itu dirasa bukanlah suatu hal yang menyimpang. Sebagian orang mengatakan
bahwa cara tersebut adalah bukti tolerensi Islam terhadap keunikan dan kekhasan
budaya Jawa, selama dalam pelaksanaannya tetap bersandar pada prinsip-prinsip
Islam, yang terhimpun secara komprehensif dalam kalam Al qur’an serta diperkuat
pula dengan Hadits.
Sikap yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan
kepercayaan setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yakni
sinkretisme dan pencampuradukan agama Islam di satu sisi dengan
kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain, sehingga agak sulit dibedakan mana
yang benar-benar ajaran Islam dan mana yang berasal dari tradisi. Namun aspek
positifnya, ajaran-ajaran yang disinketriskan tersebut telah menjadi jembatan
yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang
baru. Dan sebaliknya, ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak Islam
pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga
memudakan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.[1]
Kembali ke Walisongo, sebagian orang mengemukakan bahwa Wali
berarti orang suci sedangkan Songo dalam bahasa Jawa diartikan sembilan. Jadi
walisongo merupakan sembilan orang suci atau dikatakan sebagai ulama-ulama yang
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa sekitar abad 15-16. Sembilan wali
tersebut secara berturut-turut ialah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan
Sunan Gunung Jati. Kesembilan wali tersebut menyebarkan Islam dengan mengkombinasikan
aspek-aspek sekuler serta spiritual. Selain itu pula, masyarakat Jawa
berpandangan bahwa Walisongo adalah sosok pemimpin umat yang sangat shaleh
serta membawa kedamaian di bumi Jawa khususnya. Jawa yang dulunya tidak
mengenal agama, setelah hadirnya Walisongo maka Jawa mulai bersinar terang.
Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia bahwa Walisongo adalah
pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid masing-masing
untuk melanjutkan perjuangan dakwah ke seluruh penjuru negeri. Secara lebih
jelas akan dipaparkan mengenai Walisongo, mereka adalah:
a.
Maulana
Malik Ibrahim. Beliau merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan Islam di bumi
Jawa serta menjadi orang pertama yang mendirikan lembaga pendidikan pesantren.
Yakni lembaga pendidikan yang menyiapkan murid atau para santrinya untuk
menjadi ulama syariat dan mubaligh. Beliau dimakamkan di Gresik, dan sampai
saat ini makam beliau masih ramai diziarahi oleh umat muslim di Indonesia.
b.
Sunan
Ampel Raden Rahmat. Beliau pergi menemui Maulana Malik Ibrahim di Gresik pada
tahun 804 H/ 1401 M. Makamnya menjadi bukti keagungan perjuangan demi agama
Islam dan umatnya
c.
Sunan
Bonang Maulana Makhdam Ibrahim. Beliau merupakan putra dari Sunan Ampel yang
dilahirkan pada tahun 1465 M dan wafat 1525 M. Beliau mendirikan pesantren di
tempat tinggalnya, beliau juga merupakan salah satu pendiri kerajaan Demak.
d.
Sunan
Giri Ibn Maulana Ishaq, bergelar Sultan ‘Abd Al Faqih. Nama asli beliau ialah
Muhammad ‘Ain Al Yaqin dan termasuk keturunan Imam Al Muhajir yang terpopuler.
Beliau sempat belajar dengan Sunan Ampel. Karena karisma dan kepribadiannya
yang agung, beliau akhirnya memperoleh gelar Sultan, walaupun sebenarnya beliau
tidak menjalankan kekuasaan politik.
e.
Sunan
Drajat Maulana Syarifuddin. Beliau merupakan salah seorang da’i besar yang juga
termasuk salah satu pendiri Kerajaan Demak.
f.
Sunan
Kalijaga Maulana Muhammad Syahid. Beliau merupakan seorang da’i yang banyak
bepergian, penulis nasihat-nasihat keagamaan yang dituangkan dalam bentuk seni
pertunjukan wayang, beliau mengadopsi seni Jawa sebagai salah satu cara
memperkenalkan ajaran tauhid.
g.
Sunan
Kudus Maulana Ja’far Al Shadiq Ibn Sunan ‘Utsman. Kegiatan beliau berpusat di
daerah Kudus , Jawa Tengah. Berkat ketinggian ilmu dan kecerdasan pemahamannya,
oleh orang-orang Jawa dijuluki sebagai walinya ilmu.
h.
Sunan
Muria Maulana Raden ‘Umar Sa’id, beliau merupakan putra dari Sunan Kudus.
Beliau bergelar Sunan Muria karena makamnya yang terletak di dataran tinggi
Muria.
i.
Sunan
Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah, beliau menyebarkan Islam di daerah
Jawa Barat dan dimakamkan di Gunung Djati, yang takjauh dari kota Cirebon. [2]
Upaya Islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo sebenarnya adalah
ekspresi “Islam Kultural”. Proses yang tak berujung ini dengan demikian telah
membutuhkan waktu yang cukup panjang, sehingga pada akhirnya dapat terwujudnya
suatu tatanan masyarakat yang hidup secara damai. Ini juga menjadi ciri utama
filsafat Jawa yang menekankan pada kesatuan, stabilitas, keamaan serta harmoni.
Salah satu warisan atau peninggalan Walisongo dalam bidang
pendidikan Islam adalah adanya pesantren. Pesantren merupakan salah satu
lembaga pendidikan unik yang terdapat di Indonesia. Mengutip pendapat Amir
Hamzah bahwa secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren
dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses
penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipakai secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan kemudian
menyebar di tanah Jawa, sistem tersebut selanjutnya diambil oleh Islam. Ada beberapa
unsur-unsur yang juga menjadi elemen dasar di dalam suatu tradisi pesantren,
diantaranya ialah adanya Kyai, Santri, Asrama untuk tempat tinggal para santri,
kitab-kitab Islam yang dikaji serta Masjid yang dijadikan sebagai tempat untuk
beribadah dan menimba ilmu.
Definisi yang lebih universal telah dikemukakan oleh KH. MA. Sahal
Mahfudz adalah sebagai berikut: “Bahwa pesantren atau pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur
Kyai atau Ustadz, masjid sebagai tempat ibadah dan penyelenggara pendidikan,
pondok sebagai tempat tinggal santri, kitab-kitab Islam sebagai sumber kajian,
manajemen, dan pesantren sebagai sebuah sistem”.[3]
Lembaga pendidikan pesantren telah berkembang khususnya di wilayah
Jawa selama berabad-abad lamanya. Maulana Malik Ibrahim adalah Spiritual
Father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa, beliau dipandang sebagai
gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Pondok pesantren tua dan besar di
luar Jawa juga terindikasi bahwa Walisongolah yang menginsipirasi berdirinya
pondok pesantren tersebut. Misalnya saja pondok pesantren Nahdlatul Wathon yang
terletak di Lombok NTB.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pesantren merupakan salah
satu lembaga pendidikan Islam yang masih tetap konsisten sampai sekarang di
dalam memegang nilai-nilai, budaya, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan
pesantren juga diakui sebagai lembaga pendidikan yang mandiri. Pesantren dengan
segala kekhasan dan keunikan yang dimilikinya, diharapkan bisa menjadi penopang
berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. Diharapkan pula kelak pesantren
akan mampu melahirkan generasi para calon pemimpin yang bermoral serta mumpuni
dalam bidang keagamaan. Oleh sebab itu, perlu dibangun manajemen pesantren yang
lebih memberdayakan sumber daya manusia agar siap menghadapi arus globalisasi
di masa mendatang. Karena tujuan dari adanya pondok pesantren bukanlah untuk
mengejar kekuasaan serta keagungan duniawi, tetapi ditanamkan pada mereka bahwa
belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Allah
SWT.
Berbicara mengenai metode pengajaran yang terdapat di dalam
pesantren, ada dua macam metode yang diajarkan dalam pesantren, yakni metode
sorogan dan bandongan. Sorogan ialah sistem pengajaran secara individual yang
dilaksanakan di dalam pesantren, dimana santri mendatangi Kyai dan nantinya
akan membacakan kitab tertentu, kemudian Kyai mendengarkan dan mengoreksi jika
terdapat kesalahan. Sedangkan sistem bandongan merupakan sistem pengajaran dimana
Kyai membacakan kitab yang akan dikaji, dan para santri akan menyimak dan
mencatat hal-hal penting yang telah disampaikan oleh Kyainya. Metode pengajaran
bandongan dikenal juga dengan istilah weton. Sedangkan kelompok dari sistem
bandongan ini disebut dengan halaqah.
Budaya Pesantren
Aspek budaya pesantren dirasa cukup penting, karena pada dasarnya
budaya pesantren itulah yang senantiasa melingkupi segala aktifitas yang
berlangsung secara reguler di dalam pola kependidikan di dunia pesantren. Karakteristik
budaya pesantren diantaranya ialah:
1.
Modeling
Modeling disini di dalam ajaran agama Islam diartikan sebagai uswatun
khasanah yakni contoh perilaku yang ideal yang seharusnya dan selayaknya
untuk ditiru, karena tidak menyimpang terhadap agama Islam. Modeling ini tetap
menjadi konsep signifikan antara hubungan pemimpin-murid komunitas pesantren.
Jika Rosulullah merupakan pemimpin umat yang tidak dapat diragukan lagi, maka
bagi masyarakat santri Jawa kepemimpinan Rosulullah diteruskan pada Walisongo.
Walisongo sampai sekarang djadikan kiblat kedua setelah Nabi.
Yang perlu dipertegas di dalam modeling disini ialah bahwa modeling
mengikuti seorang tokoh pemimpin adalah bagian penting dalam filsafat Jawa.
Walisongo yang dijadikan sebagai kiblat kaum santri di tanah Jawa tentunya
berkiblat pula kepada guru besar pemimpin seluruh umat Islam di dunia, Nabi
Muhammad SAW. Walisongo tetap loyal pada misinya sebagai penerus perjuangan
Rosulullah dalam menyiarkan agama Islam, khususnya di wilayah Jawa. Misi utama
Walisongo yakni menerangkan, memperjelas, dan juga menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat, serta memberi gambaran ideal
bagi kehidupan sosial agama masyarakat.
Model Walisongo yang diikuti oleh para ulama di kemudian hari telah
menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dengan masyarakat yang mengantarkan
mereka pada kepemimpinan protektif namun juga efektif. Pendidikan Islam
Walisongo yang ditujukan kepada semuanya ini dibuktikan dengan adanya
pesantren. Ini juga membuktikan bahwa pendidikan pesantren merupakan pendidikan
yang merakyat dan juga sebagai induk dari pendidikan Islam di negara Indonesia,
karena posisinya yang tak dapat diragukan lagi. Modeling di dalam dunia
pesantren memang tidak terbatas pada dimensi kehidupan saja. Ini mengindikasikan
bahwa masyarakat senantiasa membutuhkan model kepemimpinan yang ideal di segala bentuk dan segala zaman.[4]
2.
Substansi
bukan kulit luar
Pengajaran pendidikan yang diajarkan di dalam pondok pesantren
lebih mengutamakan subtansi daripada sekedar tampilan dari luar saja, seperti yang
dulu telah diajarkan oleh Walisongo. Seperti tentang ajaran yang terdapat pada
Al qur’an dan Hadits, pada dasarnya menjelaskan mengenai hubungan antara Allah
dengan makhluknya, atau bisa disebut hubungan vertikal,juga hubungan antara
sesama manusia, yang tujuan akhirnya adalah untuk kesejahteraan di bumi dan di
akhirat kelak.
Tugas dari Walisongo ialah menerangkan mengenai hal-hal tersebut
dengan menggunakan metode-metode pemahaman yang mudah ditangkap dan mudah
diterima oleh masyarakat umum pada masa itu. Ilmu tauhid merupakan materi inti
yang disampaikan sejak awal. Karena menggunakan pendekatan subtantif, maka
Walisongopun menggunakan elemen-elemen non-Islam dalam proses tersebut. Sebenarnya
itu tidak akan mengurangi subtansi pengajaran yang disampaikan oleh Walisongo,
selagi itu masih sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Al
qur’an.[5]
3.
Pendidikan
Islam yang tidak diskriminatif
Pendidikan
Islam Walisongo yang ditunjukkan kepada massa dapat dilihat dengan adanya
pesantren. Pendidikan yang merakyat ini sekarang menjadi qiblat bagi dunia
pendidikan pesantren. Pendekatan yang dilakukan oleh Walisongo saat ini telah
ada di dalam pesantren, seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri,
pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal, kesemuanya ini merupakan
warisan dari Walisongo.
Namun demikian,
pendidikan yang disampaikan oleh Walisongo juga disampaikan kepada para
penguasa. Di dalam ajaran tersebut ulama dan penguasa tidak memperoleh tempat. Hal
ni sesuai dengan ajaran tauhid yang tidak memberi ruang pada sekularisme.
Ajaran ini merupakan warisan dari Sunan Kalijaga yang kemudian di populerkan
oleh Sultan Agung.[6]
4.
Pendidikan
agama yang understandable and applicable
Pendidikan
Walisongo yang terwujud dalam bentuk pondok pesantren dirasa mudah untuk
ditangkap dan dilaksanakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat santri Jawa. Hal
ini sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad bahwa “ajarilah
manusia sesuai dengan kapasitas pemahamannya”. Kemudian dari pendekatan ini
mengantarkan pula pada pendidikan Islam yang menggunakan media wayang yang kita
ketahui sangat merakyat. Di dalam cerita wayang, ada nilai-nilai Islam yang
bisa ditemukan, misalnya saja tentang ajaran rukun Islam.[7]
5.
Pendekatan
Kasih Sayang
Bagi Walisongo,
seperti yang pernah disinggung sebelumnya, mereka berpendapat bahwa mendidik
merupakan suatu tugas serta panggilan dari agama. Mendidik seorang murid sama
halnya dengan mendidik anak sendiri, mereka perlu untuk diberi kasih sayang,
dihormati serta dijaga. Sehingga kelak ketika merek telah dewasa, mereka akan
mampu meneruskan perjuangan untuk menyebarkan agama yang rahmatan lil ‘alamin. [8]
Apabila saat
ini kita masih menemukan pola pendidikan yang menindas, dimana seorang guru
ketika marah terhadap anak didiknya kemudian memberikan perlakuan yang tak
sepantasnya. Misal saja guru merasa paling benar sendiri, kemudian muridnya
melakukan kesalahan, dan guru melakukan tindak kekerasan atau pemberian
hukuman. Itu sebenarnya bukanlah warisan dari Walisongo, melainkan itu adalah
warisan para penjajah. Ajaran yang disampaikan oleh Walisongo sangatlah santun
dibandingkan dengan ajaran dari para penjajah yang hidup jauh setelah
Walisongo. Jika saat ini masih ada yang melakukan hal-hal tersebut, berarti
dapat diindikasikan bahwa ajaran penjajah lebih dominan ketimbang warisan etika
leluhur Walisongo.
6.
Cultural Maintenance
Mempertahankan
budaya serta tetap bersandar pada ajaran-ajaran agama Islam merupakan budaya
pondok pesantren yang sudah berkembang berabad-abad lamanya. Sekali lagi
Walisongo beserta para Kyai adalah sebagai agen perubahan sosial, dimana dalam
pelaksanaanya mereka menggunakan pendekatan kultural, bukan politik struktural
maupun kekerasan. Istilah Islam Kulturalyang selama ini ditujukan pada
pendektan Abdurrahman Wahid dan Nur Cholis Majid, sebenarnya secara substansial
tidak jauh berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh Walisongo dan
ulama-ulama terdahulu.
Ide cultural
maintenance ini juga turut mewarnai kehidupan intelektual di dunia pesantren.
Subjek yang diajarkan di pesantren yakni melalui hidayah dan berkah dari
seorang Kyai. Ajaran yang ada di dalam kitab kuning selain menjelaskan tentang
prinsip-prinsip Islam, juga menyeimbangkan antara tradisi-tradisi yang benar.
Materi-materi tersebut tidak hanya menerangkan tentang masa keemasan Islam yang
terjadi di masa lampau, akan tetapi juga menunjukkan peran yang harus dimainkan
kelak di masa mendatang. Terlebih lagi karena pengaruh dari globalisasi dan
kenyataan yang dihadapi akan semakin rumit, maka pesantren sangat dominan dalam
pembentukan moral bangsa. [9]
7.
Budaya
Keilmuan yang Tinggi
Dunia pesantren
senantiasa identik dengan dunia ilmu, khususnya ilmu tentang pokok-pokok ajaran
Islam. Di dalam pondok pesantren yang dijadikan sebagai rujukan utama, yang
dinilai cukup komprehensif menjelaskan tentang ajaran dasar Islam ialah
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu komunitas santri di suatu
pesantren juga tak lepas dari tradisi untuk menghormati serta mengagungkan
tokoh-tokoh ulama terdahulu, misal saja Iman Muslim, Iman Bukhori dan lain
sebagainya.[10]
Menjadi seorang
muslim berarti menjadi seorang santri. Status seorang santri dianggap lebih
unggul dibandingkan dengan non-santri. Karena santri yang belajar di sebuah
pondok pesantren tak pernah lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam. Jika
melihat realita saat ini, banyak juga para petinggi-petinggi pemerintahan yang
memiliki latar belakang pesantren. Jadi selain mereka mumpuni dalam bidang yang
menjadi keahliannnya, mereka juga mahir tentang pengetahuan-pengetahuan agama,
karena merek telah mendapat bekal ketika mondok di pesantren.
RELASI MAKNA
Budaya pesantren
menyuguhkan satu budaya khas yang berwatak dan bercirikhas. Berdirinya pondok
pesantren di Indonesia, khususnya di tanah Jawa dibarengi pula dengan keberhasilan
Walisongo dalam merebut simpati rakyat. Para penyebar Islam tersebut juga
melengkapi diri dengan modal materi yang digunakan untuk dakwah Islamiyyah.
Bagi Walisongo mendidik merupakan tugas yang mulia dan juga merupakan panggilan
agama. Mendidik murid atau para santri sama halnya dengan mendidik anak kandung
sendiri. Kajian ilmu yang diajarkan di dalam pondok pesantren oleh Walisongo
pada masa itu tak bisa lepas dari ajaran dasar sufisme. Sufisme sebagai elemen
aktif dalam penyebaran agama Islam di Jawa terlihat jelas dengan kehadiran
tariqat Qadariyah, Naqsabandiyah, Syatariyyah dan lain sebagainya yang telah
berkembang dari abad ke abad.
Jika mengingat peristiwa kelam dimasa lampau, ketika Belanda
menyerang Indonesia hingga akhirnya Belanda kalah dan Jepang sebagai penjajah
setelahnya. Dalam proses menuju kemerdekaan, tak bisa dipungkiri bahwa kaum
santri juga turut andil berjuang di dalamnya. Kerjasama serta solidaritas yang
ditujukan oleh komunitas santri di dalam perang ini bisa dijelaskan dengan
memperhatikan peran mutlak Kyai, khususnya ketika dihadapkan pada suatu kondisi
yang kritis, maka loyalitas para santri yang tak tergoyahkan kepada para
gurunya, merupakan suatu bentuk ketaatan kepada agamanya.
Selain keterlibatan para santri dalam proses kemerdekaan di
Indonesia, jika kita menelusuri lebih dalam lagi, maka kita akan tahu bahwa
para pahlawan-pahlawan yang ikut membela tanah air juga ada yang berasal dari
kaum santri dan tokoh-tokoh agama atau ulama. Jadi tidak bisa dipungkiri lagi
bahwa pesantren memang merupakan lembaga pendidikan, yang mampu mencetak
kader-kader Islam serta mampu menjaga keutuhan dan kemerdekaan negara Indonesia.
Pencapaian itu juga tak luput dari adanya keikhlasan dan keseriusan para santri
dalam menggali ilmu di dunia pesantren. Dengan keseriusan tersebut maka akan
tumbuh rasa tanggung jawab dan cinta akan tanah air.
Hal yang tak bisa dilepaskan dalam pembahasan mengenai dunia
pesantren ialah relasi atau hubungan antara Kyai dengan santri. Kyai merupakan
sosok tokoh agama atau ulama yang mempunyai kekuasaan penuh di dalam suatu
pesantren, sedangkan santri ialah sekelompok orang yang dengan niat yang tulus
mencari ilmu untuk menghilangi kebodohan serta mencari ridha Allah SWT. Jika
diibaratkan pesantren itu bagaikan sebuah kerajaan, dimana Kyai yang berperan
sebagai seorang penguasa atau raja, sedangkan santri ialah rakyat yang berada
di bawah kepemimpinannya.
Di berbagai daerah pesantren selalu dikaitkan dengan figur seorang
Kyai. Bahkan banyak teori yang berkembang telah menempatkan posisi Kyai dan
pesantren menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Itu berarti
keberadaan sebuah pesantren merupakan legitimasi bahwa pesantren tersebut tetap
hidup dan tetap memiliki fungsi tempat ngaji atau mondok yang otoritatif bagi
masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya santri, yang kemudian lebih memperkuat
keberadaan sebuah pondok pesantren.
Salah satu aspek penting yang ada di masyarakat Indonesia adalah
pluralitas kultural dengan para Kyai atau Ulama sebagai pemimpin informal dan
cukup berpengaruh di dalam masyarakat, khususnya masyarakat muslim Jawa. Dan
selanjutnya menggunakan pesantren-pesantren sebagai wadah konsolidasi religius
dan sosial. Sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan Kyai di suatu pesantren
sangatlah unik. Hubungan guru dan murid yang didasarkan atas sistem kepercayaan
daripada hubungan patron client yang berkembang di masyarakat.
Para santri dengan senang hati menerima kepemimpinan Kyai karena
kepercayaan mereka pada konsep yang berkembang di masyarakat Jawa, yakni “berkah”
atau “baraka” yang didasarkan doktrin status istimewa dari seorang alim
atau wali. Misal saja ketika Kyai menyuruh santrinya untuk melakukan suatu hal,
maka santri tersebut dengan senang hati akan patuh terhadap perintah tersebut.
Santri yang tinggal di pondok pesantren haruslah meniru ketaatan religius Kyai,
bersedia untuk meninggalkan kesenangan dunia maupun jasmani, bersedia menerima
hukuman apabila santri tersebut melakukan pelanggaran, maka seorang santri
haruslah patuh terhadap semua hal tersebut. Kembalike konsep yang berkembang di
masyarakat muslim bahwa orang yang mengabdikan dirinya untuk seorang wali atau
ulama ataupun wali maka mereka yakin bahwa mereka akan memperoleh keberkahan
nantinya. [11]
Contoh lain antara relasi Kyai dengan santri ialah menerima ciuman tangan.
Seorang ulama bernama Nawawi Al Bantani menerima ciuman tangan dari hampir
seluruh masyarakat Jawa yang tinggal di Mekah sebagai sebuah ciri ajaran Islam.
Komunitas pesantren menganggap bahwa mencium tangan seorang alim akan
mendatangkan “baraka” dan sebagai bagian dari emplementasi sunnah.
Tetapi walau bagaimanapun mereka paham bahwa penghormatan fisik tersebut tidak
harus dicampur aduk dengan masalah keimanan dan keesaan kepada Allah SWT. Sejak
Islam menjadi agama yang memiliki banyak penganut di Jawa, para Kyai menikmati
status sosial yang tinggi.
Lebih menarik lagi ialah peran dari para ulama dalam tradisi Jawa
dalam menyebarluaskan pengetahuan, mengembangkan kurikulum serta menanggapi
tuntutan dari luar khususnya pada masa pemerintahan Belanda. Mayarakat begitu
bergantung terhadap para ulama atau Kyai. Misalkan saja dalam hal mengambil
keputusan terhadap persoalan-persoalan seperti; harta, warisan, pernikahan, dan
lain sebagainya. Mereka demikian tergantung kepada bimbingan ulama, karena
mereka percaya bahwa ulama atau Kyai adalah orang yang paham mengenai
persoalan-persoalan tersebut.
Teringat dengan Serat Cabolek yang ditulis oleh R. Ng. Yasadipura
1, di dalamnya menceritakan tentang Haji Mutamakin yang dinilai oleh para ulama
sebagai orang yang melakukan penghinaan terhadap agama Islam, serta menyebarkan
ajaran-ajaran sesat yang dikhawatirkan akan merusak moral dan keyakinan
masyarakat. Di tengah permasalahan tersebut munculah seorang ulama yang dikenal
dengan nama Ketib Anom, beliau berasal dari daerah Kudus. Ketib Anom merupakan
ulama yang memiliki kharisma, cerdas dalam ajaran dasar agama serta pandai
dalam segala bidang. Di dalam serat tersebut digambarkan bahwa Ketib Anom
merupakan sosok ulama yang berani, percaya diri serta diceritakan pula bahwa
beliau adalah seorang santri yang dijadikan menantu oleh Bupati Kudus.[12]
Di dalam serat tersebut Ketib Anom dijelaskan sebagai seorang ulama
atau Kyai yang sempurna yang paham akan segala permasalahan. Andaikan saja saat
ini banyak muslim yang menyerupai sosok Ketib Anom, pastilah tidak akan ada
problematika yang bermunculan. Tetapi seorang Kyai terkadang juga dinilai
sebagai seorang figur primitif dengan pakaian tradisional, memakai sarung dan
lebih berfikir tentang kehidupan kelak di akhirat dibandingkan dengan memahami
masalah-masalah dunia, bahkan bisa dikatakan mengambil sikap diam.
Komunitas Kyai seringkali salah dinilai, dan dipandang lebih
sebagai orang-orang Jawa yang pendiam daripada Muslim yang revolusioner. Tidak
banyak upaya ang dibuat untuk memberikan analisis mengenai bagaimana ajaran-ajaran
Islam ditransmisikan melalui jaringan Ulama Jawa serta pengaruhnya terhadap
Islam di tanah Jawa. Kepemimpinan kharismatik yang tak diragukan lagi dari para
ulama atau para Kyai di dalam kehidupan Muslim Jawa, dan juga pendirian lembaga
pendidikan mereka, pesantren, yang tetap istimewa bagi murid-murid mereka.
Orang Jawa ketika memilih pemimpin bukan didasarkan pada pilhan
rasional, tetapi pilihan emosional. Oleh sebab itu, kharisma lebih penting
daripada kemampuan untuk memimpin. Wajar jika pemimpin kharismatik lebih
disukai daripada pemimpin rasional. Di dalam konteks keagamaan pun kehidupan
seperti ini tampak kuat, terutama di lingkungan pondok pesantren. Hal ini
memperlihatkan bahwa kuatnya posisi seorang Kyai.tidak mengherankan pula jika
nantinya sulit untuk membedakan antara sopan santun dengan perilaku feodal.[13]
Kembali ke
Walisongo yang merupakan sosok ulama penyebar Islam di wilayah Jawa khusunya.
Di dalam buku Akar Tasawuf di Indonesia karangan Alwi Shihab diterangkan bahwa
Walisongo tetap berada pada jalur nenek moyang mereka yang loyal kepada madzhab
Imam Syafi’i dalam aspek Syariat dan Imam Al Ghazali dalam aspek tarekat. Tak
heran jika Walisongo merujuk pada kitab Ihya Ulum Al Din sebagai sumber
inspirasi dakwahnya. Kitab tersebut juga merupakan salah satu kitab yang dikaji
oleh seorang Kyai kepada para santrinya di pondok pesantren.[14]
Di dalam
pesantren, ajaran yang secara turun temurun di sampaikan oleh seorang Kyai
kepada para santrinya adalah mengenai Ahlus sunnah wal Jama’ah, yakni
pandangan serta pemikiran yang mengajak kepada tauhid, menjauhi syirik, dan
mengingkari kesesatan yang terdapat dala kepercayaan-kepercayaan kebatina dan
kepercayaan-kepercayaan lainnya yang bisa dikatakan sesat dan kafir.
ANALISIS
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat kita ketahui bersama bahwa lembaga pendidikan
pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tua yang sudah ada sejak
berabad-abad yang lalu. Pelopor pertama berdirinya pondok pesantren ialah
Maulana Malik Ibrahim. Beliau merupakan orang pertama yang menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa. Beliau juga merupakan salah satu dari Walisongo.
Walisongo bagi
masyarakat muslim Jawa dipercayai sebagai sekelompok orang suci dan shaleh yang
paham tentang pokok-pokok ajaran agama Islam. Walisongo menyebarkan agama Islam
di wilayah Jawa, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki
keberagaman budaya serta tradisi. Di dalam dakwahnya, Walisongo menggunakan
pendekatan-pendekatan tertentu. Walisongo menyebarkan isi-isi ajaran Al qur’an
dan Hadits dengan menggunakan tradisi yang ada di tanah Jawa. Dengan cara
tersebut masyarakat Jawa akan lebih terbuka dan menerima bahwa Islam adalah
agama yang benar, dan bisa menuntun mereka menuju kebahagian di dunia dan
akhirat kelak.Salah satu contohnya ialah Sunan Kalijaga yang menggunakan
kesenian wayang untuk berdakwah, beliau memasukkan pemahaman tentang ilmu
tauhid ke dalam cerita yang dimainkan dalam pertujukan wayang tersebut.
Pesantren seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan
lembaga yang khas dan juga unik. Pasalnya pesantren memiliki ciri yang lain
daripada yang lain. Di suatu pondok pesantren, kental akan suasana religius,
dimana atmosfir keilmuan selalu terasa di dalamnya. Terlebih lagi dengan adanya
sosok Kyai yang memiliki kekuasaan penuh atas pesantren tersebut. Kyai berperan
sebagai tokoh panutan, pemimpin dan juga designer yang memiliki hak
secara luas untuk mengatur pondok pesantren yang didirikannya menuju kearah
mana. Sejak Islam semakin berkembang di berbagai wilayah, khususnya di tanah
Jawa, sosok Kyai memperoleh posisi atau status yang cukup tinggi. Karena para
santri Jawa menganggap bahwa dengan menghormati dan ta’dhim kepada seorang
ulama maka akan mendatangkan keberkahan,baik di dunia maupun di akhirat.
[1] Shodiq, Potret
Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2013), hlm. 45.
[3]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus), (Yogyakarta: Gama
Media, 2013), hlm. 27.
[4] Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 35-36.
[5] Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 37-38.
[6]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 38-39
[7]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm.39-40
[8]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 40.
[9]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 41-42.
[10]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 44.
[11]
Abdurrahman
Mas’ud, Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus)....hlm. 64-65.
[12] Agus Wahyudi, Pesona
Kearifan Jawa, ( Yogyakarta: Dipta, 2014), hlm. 56.
[13] Abdul Djamil,
Abdurrahman Mas’ud dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa,( Yogyakarta: Gama
Media, 2000), hlm. 214.
[14]
Alwi Shihab, Akar
Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Iman, 2009), hlm. 29-30.
Langganan:
Postingan (Atom)