MENGENAL LAGU-LAGU BERNUANSA AGAMA DAN BUDAYA
KARYA ZAMAN KEWALIAN DI JAWA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Ubaidilah Ahmad
Disusun
oleh :
Kamilatunnisa (1403036006)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
DATA
Islam mulai
diperkenalkan ke wilayah Jawa oleh para ulama-ulama pada masa itu, yang hingga
saat ini lebih dikenal dengan Walisongo. Walisongo melaksanakan dakwahnya di
wilayah Jawa yaitu dengan cara menggunakan tradisi maupun budaya lokal
setempat, karena lebih mudah untuk diterima di masyarakat. Jika dilakukan
inventarisasi secara intensif, maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya
Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan
budaya setempat.
Jika kita lihat dari bidang kesenian, kita dapat mengetahui
seni-seni yang telah diciptakan oleh Walisongo, diantaranya berupa tembang
macapat, lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan serta bentuk-bentuk
permainan untuk anak-anak dan remaja. Saat ini sebagian masyarakat Indonesia,
khususnya wilayah Jawa banyak mengenal dan mengetahui tentang lirik dan langgam
yang diciptakan oleh Walisongo. Para ulama tersebut bukan hanya menciptakan
lagu-lagu Jawa saja, melainkan mereka juga tak lupa untuk memberikan
nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh,
sinom, mijil, megatruh, kinanthi, dandang gula dan lain sebagainya. Walisongo
juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan
lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti
ilir-ilir, bagi masyarakat umum. Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo
menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Selain
itu, mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan
remaja, seperti jitungan dan trempolo
kendang.
Dalam banyak hal, permainan-permainan tersebut dimainkan dengan
disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu serta permainan-permainan tersebut
seringnya dilakukan di sekitar masjid, sehingga lebih mendekatkan remaja serta
anak-anak kepada masjid. Di samping itu pula, secara filosofis lagu-lagu dan
model-model permainan tersebut memiliki nilai pedagogis. Dalam perspektif ini,
ketika para anak-anak dan remaja menyanyikan lagu dolanan sedangkan para orang
dewasa menyanyikan macapat, sebenarnya mereka tengah mempelajari serta meresapi
nilai-nilai Islam yang ada di balik isi lagu-lagu tersebut.
II.
RELASI
MAKNA
Agama dan kebudayaan merupakan hal yang sangat erat ditengah-tengah
kehidupan masyarakat. Bahkan ada pula yang mengartikan bahwa agama dan budaya
merupakan satu kesatuan yang utuh, namun sebenarnya agama dan kebudayaan
memiliki kedudukan masing-masing. Agama dan kebudayaan merupakan hal yang dapat
dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Di tanah Jawa sendiri, sebagian
masyarakat yang sangat kental memegang tradisi leluhurnya disebut kejawen. Pada
dasarnya Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen, secara bahasa,
maupun istilah. Didalam Al Qur’an dan Hadits juga tidak ditemukan penjelasan
tentang kejawen. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kejawen muncul seiring
dengan datangnya para wali (Walisongo) ke tanah Jawa dalam rangka menyebarkan
ajaran Islam
Di
dalam upaya penyebaran agama Islam di Jawa, Walisongo memakai cara yang halus,
yakni menggunakan tradisi setempat sehingga lebih mudah untuk diterima di
masyarakat. Di samping itu, Walisongo juga menciptakan lagu-lagu Jawa bernuansa
agama dan budaya, yang jika ditelusuri lebih jauh, dapat diketahui bahwa
lagu-lagu tersebut sarat akan makna. Isi substansinya sama, yaitu membumikan
agama, menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada
pengikutnya yang baru. Berikut sebagian lagu-lagu bernuansa agama dan budaya
yang telah diciptakan oleh para Walisongo, beserta penjelasannya.
A. Lir-ilir
Lagu ini
merupakan karya dari salah satu Walisongo yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
adalah satu-satunya Walisongo yang berdarah Jawa Asli, Kalijaga menyebarkan
agama Islam melalui berbagai kesenian jawa, mulai dari wayang, lagu, dan
kesenian-kesenian rakyat lainnya. Setiap menulis lagu, Sunan Kalijaga selalu
menyelipkan makna dengan nilai filosofi kehidupan yang mendalam, tak terkecuali
dengan lagu 'Lir-ilir' ini. Berikut lirik dari lagu Lir-ilir beserta maknanya:
1. Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah
bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin
baru)
2. Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak
gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon)
belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah
tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh
pakaianmu)
3. Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak
dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti
sore)
4. Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu
luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan
sorakan Iya!!!)
Makna
yang terkandung di dalam bait 1 tersebut ialah kita sebagai hamba Allah disuruh untuk bangun, bangun di sini bukan berarti bangun dari
tempat tidur. Melainkan kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari
sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, dan untuk
lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah menanamkan dalam diri kita yang
dalam ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan demikian
menghijau. Terserah kepada kita, apakah kita mau membiarkan tanaman iman kita
menjadi mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga
menjadi besar dan pada akhirnya memperoleh kebahagaiaan bagaikan pengantin
baru.
Makna yang terkandung
di dalam bait yang ke 2 ialah sedikit unik karena Sunan Kalijaga memilih kata
“cah angon”, mengapa demikian, karena pada dasarnya cah angon adalah
pengembala. Pengembala yang dimaksud di sini adalah kita sebagai hamba Allah
harus mampu menggembalakan hati kita dari perbuatan maksiat dan menahan diri
dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Cah angon atau penggembala di sini
diminta untuk memanjat pohon belimbing yang licin, yang kita ketahui bahwa buah
belimbing bergerigi lima, itu diibaratkan sebagai lima rukun Islam. Jadi meskipun
berat, kita harus tetap berusaha untuk menjalankan rukun islam tersebut,
walaupun banyak rintangan yang menghadang. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah
untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
Maksud dari bait ke 3
lagu “lir-ilir” ialah bahwa pakaian taqwa harus kita bersihkan, yakni dengan
menghindari segala larangan-Nya serta menghiasnya dengan akhlak mulia, seperti
merajut pakaian hingga menjadi pakaian yang indah. Suatu saat kita akan
meninggal dan mempertanggungjawabkan seluruh amal kita. Maka dari itu kita
haruslah memperbaiki dan menyempurnakan ke-Islaman kita agar kita
selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakain taqwa kita terkadang
terkoyak dan berlubang sana sini, maka kita harus senantiasa memperbaikinya,
agar kita selalu siap jika suatu saat dipanggil oleh Allah SWT.
Pada
bait ke 3 dapat diketahui maknanya, yakni kita diharapkan agar melakukan
hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat, yang pada lirik tersebut
digambarkan kondisi padang bulan. Selain itu selagi kita masih mempunyai banyak
kesempatan dan juga waktu luang, maka kita harus mohon ampun kepada Allah,
menjalankan seluruh perintahNya serta menjauhi segala laranganNya.
Dari
sini kita dapat mengetahui bahwa lagu “Lir-ilir” yang diciptakan oleh Sunan
Kalijaga ini memiliki makna yang begitu mendalam, terdapat tuntutan untuk
menjalani kehidupan yang sebenarnya. Bukan hanya beorientasi pada duniawi,
tetapi juga bersiap-siap untuk menghadapi kehidupan yang kekal dengan
senantiasa menjalankan segala perintah Allah SWT. Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya
manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dan kita semua
harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap
ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.
B. Cublak-cublak
suweng
Lagu ini
diciptakan oleh Sunan Giri, salah satu Walisongo yang berjasa dalam proses
penyebaran Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa, tidak hanya sekedar untuk
didengar. Tapi, lagu ini membawa pesan mendalam bagi kita semua. Berikut ini
syair dari tembang cublak-cublak suweng beserta penjelasannya.
Cublak-cublak suweng..
Cublak-cublak suweng..
suwenge teng gelenter..
mambu ketundhung gudel..
pak empo lera-lere..
sopo ngguyu ndhelikake..
Sir-sir pong dele kopong..
Sir-sir pong dele kopong..
Di dalam
syair tembang cublak-cublak suweng diatas, cublak suweng diartikan sebagai
tempat harta, karena dalam bahasa Jawa suweng berarti perhiasan anting-anting.
Atau bisa diartikan pula bahwa cublak suweng merupakan tempat harta berharga,
atau harta sejati. Yang mana harta sejati tersebut berupa kebahagiaan sejati yang sebenarnya sudah ada
berserakan di sekitar manusia (Suwenge Teng Gelenter).
Kemudian banyak orang berusaha mencari harta sejati itu. Bahkan orang-orang
bodoh (diibaratkan Gudel) mencari harta itu dengan penuh nafsu ego, korupsi dan
keserakahan, tujuannya untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Kalimat pak
empo lera lere diartikan sebagai orang tua ompong yang kebingungan. Meskipun
hartanya melimpah, ternyata itu adalah harta palsu, bukan harta yang sejati
atau kebahagiaan sejati. Merekapun kebingungan karena dikuasai oleh hawa nafsu
keserakahannya sendiri. Selanjutnya kalimat sopo ngguyu ndheliake bermakna
bahwa barang siapa dapat menjadi orang yang bijaksana, dialah yang menemukan
Tempat Harta Sejati atau kebahagian sejati. Dia merupakan orang yang tersenyum
dalam menghadapi keadaan hidup. Maka dari itu, untuk mencapai ke tempat harta
yang sejati adalah dengan melepaskan diri dari harta duniawi serta tidak
mengikuti hawa nafsu, sehingga kita tdak tersesat.
C. Gundul-Gundul
Pacul
Tembang
gundul-gundul pacul merupakan salah satu tembang yang diciptakan oleh Sunan
Kalijaga bersama teman-temannya sewaktu masih remaja. Tembang ini memiliki
makna yang begitu mendalam dan sangat mulia, berikut lirik dari tembang
gundul-gundul pacul:
Gundul gundul pacul-cul..gembelengan…
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan…
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…
Di dalam tembang
gundul-gundul pacul digambarkan seseorang yang berkepala plontos tanpa rambut
dan itu ditujukan kepada para pemimpin. Sedangakn pacul merupakan lambang
kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Jadi dijelaskan bahwa seorang
pemimpin sebenarnya bukanlah orang yang diberi mahkota, melainkan pembawa
cangkul untuk mencangkul, atau bisa dikatakan mengupayakan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat. Kemudian kata gembelengan
artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Sedangkan wakul sebagai simbol dari kesejahteraan rakyat. Saat ini banyak
pemimpin yang lupa bahwa dia sebenarnya sedang mengemban amanah rakyat.
Jika saat ini pemimpin
masih saja gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Apabila
dipercaya untuk memegang amanah yang menyangkut kehidupan orang banyak, dia
tetap bersikap tidak peduli. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka
kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil akhirnya menjadi hancur
berantakan. Dari syair tembang tersebut mengandung makna tidak boleh sombong,
dalam hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan ceroboh akan
membawa kehancuran dan kegagalan. Maka dari itu seorang pemimpin haruslah bisa
mengemban amanah yang telah diberikan kepadanya dengan baik.
D. Sluku –
Sluku Batok
Sluku-sluku bathok (Ayun-ayun kepala)
Bathoke ela-elo (Kepalanya geleng geleng)
sluku bathok (Ayun-ayun kepala)
Bathoke ela-elo (Kepalanya geleng geleng)
Si Rama menyang Solo (Si bapak pergi ke Solo)
Oleh-olehe payung motha
(Oleh-olehnya payung mutha)
Mak jenthit lolo lobah (Secara tiba-tiba bergerak)
Wong mati ora obah (Orang mati tidak
bergerak)
Nek obah medeni bocah (Kalau bergerak menakuti orang)
Nek urip goleka dhuwit. (Kalau hidup carilah uang)
Makna yang terkandung
di dalam syair tembang Sluku-sluk bathok ialah bahwa manusia sebagai hamba
Allah harus senantiasa membersihkan batinnya dan juga senantiasa berdzikir
kepada Allah sebagai Tuhan seluruh alam. Berdzikir kepada Allah dilakukan
dengan (ela-elo) menggeleng-gelengkan kepala sembari mengucapkan kalimat lafal
laa illa ha illallah. Mengucapkan lafal tersebut dilaksanakan baik dalam
keadaan senang maupun susah, dikala mendapat musibah maupun kenikmatan. Karena
kita ketahui bersama bahwa hidup dan mati seseorang itu ada di tangan Allah
SWT. Maka dari itu, selagi kita masih
diberi kesehatan, maka berbuat baiklah kepada sesama manusia dan beribadahlah
kepadaAllah SWT.
E. Turi
putih
Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung.
Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung.
Cumleret tiba nyemplung, gumlundhung kembange apa.
Mbok kira, mbok kira, mbok kira kembange apa?
Tembang
turi putih merupakan salah satu tembang yang diciptakan oleh Walisongo, ada
yang mengatakan bahwa lagu ini diciptakan oleh Sunan Giri. Lagu yang sederhana
ini memiliki sebuah makna nasihat akan kematian. Makna yang terdapat pada syair
turi putih ialah pemberitahuan bahwa kelak manusia itu akan mengalami kematian
dan akan dikuburkan di kuburan. Makna ini ada pada lirik Turi-turi putih,
ditandur neng kebon agung. Kemudian pada lirik Cumleret tiba nyemplung diartikan
sebagai Sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan
waktunya cepat seperti kilat yang jatuh. Dan setelah jenazah dikubur maka akan
menghadapi pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir terkait dengan amal
perbuatannya selama hidup di dunia.
Kemudian
pada lirik selanjutnya simbol manusia yang sudah mati pasti akan menghadapi
pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Mbok ira, mbok ira, mbok
ira kembange apa: mbok iro merupakan simbol manusia yang sudah meninggal,
selalu akan ditanya amal apa yang sudah diperbuat serta bekal apa yang akan
dibawa.
F.
Padang
Bulan
Yo prakanca dolanan ing njaba (Ayo teman-teman
bermain diluar)
Padhang mbulan padhangé kaya rina (Cahaya bulan yang
terang benderang)
Rembulané kang ngawé-awé (Rembulan yang
seakan-akan melambaikan tangan)
Ngélikaké aja turu
soré-soré (Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur
sore-sore)
Makna yang terdapat pada tembang Padang Bulan di atas ialah memiliki makna
yang religius. Maksud dari tembang tersebut adalah kita sebagai hamba Allah
diminta untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan, dan
juga untuk menikmati keindahan alam. Untuk menunjukkan rasa syukur itu kita
diharapkan tidak tidur terlalu sore karena kita bisa melaksanakan ibadah di
waktu malam. Dalam setiap syair tembang padang bulan mengandung nilai-nilai kehidupan
masyarakat Jawa yang religius, menghargai alam, serta karakteristik
kekeluargaan yang kental.
G. Dhondong
Opo Salak
Dhondhong apa salak (Dhondhong apa salak)
Dhuku cilik-cilik (duku kecil-kecil)
Andhong apa mbecak (Naik delman apa naik becak)
Mlaku dimik-dimik (Jalan pelan-pelan)
Di dalam syair tembang Dhondong opo salak, kita dihadapkan kepada 2 pilihan
karakter. Ibarat buah kedondong, yang luarnya halus tetapi dalamnya kasar dan
tajam, berbeda dengan buah salak yang memiliki luar yang kasar, tetapi halus di
dalam. Kita diminta untuk memilih salah satunya, tetapi sebaiknya kita harus
bisa berbuat baik secara lahir dan batin, yang diibaratkan bagaikan buah duku, karena
sifat luar dan dalam sama-sama baik, halus, dan lembut.
Sedangkan syair andhong
atau becak, kita juga dihadapkan pada 2 pilihan. Apakah kita mau menggunakan
andong, dimana hewan digunakan sebagai tenaga penariknya, sedangkan becak
merupakan angkutan yang menggunakan tenaga manusia sebagai penariknya. Sebaiknya
kita sebagai manusia janganlah selalu menyusahkan serta mengandalkan bantuan
dari manusia dan juga makhluk lain. Melainkan kita harus mampu mandiri,
berjalan di atas kaki sendiri meskipun pelan-pelan dan tertatih-tatih.
H. MACAPAT
Macapat
merupakan tembang atau puisi tradisional Jawa.
Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan
setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan
berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat
terdiri dari 11tembang, dimana setiap tembangnya memiliki makna
sendiri-sendiri. Pada zaman Walisongo, tembang macapat digunakan sebagai salah
satu metode dakwah dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Tembang macapat
diyakini sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup manusia,
dimulai sejak Tuhan meniupkan roh ke dalam janin hingga pada akhirnya manusia
tersebut kembali kepada-Nya. Proses kelahiran sampai kematian seseorang
digambarkan secara runtut dalam tembang
macapat.
a.
Maskumambang.
Maskumbambang merupakan tembang pertama pada macapat. Tembang ini melambangkan
bayi yang masih dalam rahim atau kandungan ibunya, yang belum diketahui jenis
kelaminnya. Mas berarti belum diketahui laki atau perempuan, sedangkan
Kumambang, artinya hidupnya masih dialam kandungan ibundanya. Tembang ini
banyak digunakan untuk mengungkapkan perasaaan nelangsa, sedih dan lain
sebagainya.
b.
Mijil.
Mijil berati lahir. Pada masa ini orang tua bergembira hati,
setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang
rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan
selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi
Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
c.
Kinanthi.
Kinanthi berasal dari kata kanthi atau
menuntun, yang artinya dituntun supaya dapat berjalan didunia ini. maka pada masa ini seorang anak yang masih
kecil haruslah disertai oleh seorang pembimbing, agar bisa menjadi manusi yang
sejati.
d.
Sinom.
Seiring berjalannya waktu, masa anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi
pemuda atau remaja. Disini yang terpenting bagi remaja agar bisa menuntut ilmu
yang setinggi-tingginya. Tembang ini emberi gambaran tentang sesorang yang
menginjak usia muda, penuh dengan harapan dan angan-angan.
e.
Asmarandana.
Dalam asmarandana, dapat diartikan
bahwa pada fase remaja atau pemuda, mereka mempunyai rasa cinta kasih kepada
sesamanya baik itu pria maupun wanita, karena semua itu sudah merupakan
kehendak/kodrat Yang Maha Kuasa.
f.
Gambuh.
Setelah para remaja tersebut memiliki rasa cinta kasih , kemudian kedua insan itu harus diberi persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh). Gambuh berasal dari kata nyambung/sesuai yang artinya kalau sudah pas
selanjutnya dijodohkan antara pria dan wanita yang sudah saling mencintai,
dengan harapan dapat menjalin kehidupan yang langgeng.
g.
Dhandhanggula.
Pada lagu ini menggambarkan
keadaan seseorang yang berbahagia, apa yang dicita-citakan dapat terlaksana.
Terlaksana mempunyai pasangan, mempunyai rumah, kehidupan yang kecukupan untuk
keluarganya. Maka dari itu seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan
dalam lagu dhandanggula.
h.
Durma.
Disela-sela perjalanan
dalam upaya untuk mencapai kebahagian dan cita-cita dalam kehidupan berumah
tangga, maka mereka diwajibkan untuk memberikan bantuan, pertolongan dan segala
yang terbaik untuk keluarga dan sesama manusia.
i.
Pangkur.
Setelah mencapai kebahagian dalam bahtera rumah tangga, maka diharapkan
mereka dapat meninggalkan hawa nafsu duniawi. Kata pungkur atau mungkur
berarti belakang atau sudah lewat, dalam tradisi jawa setelah manusia menginjak
usia tua, maka mereka harus bisa menjadi sesepuh yang bisa memberikan
petuah-petuah kepada anak cucunya. Tembang pangkur
ini biasanya banyak mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa
guna memperbaiki (nyepuh) sesuatu agar menjadi lebih baik.
j.
Megatruh.
Setelah menjalani
hidup dalam berumah tangga dan usia juga semakin renta, maka bagi orang
tersebut tinggal menunggu datangnya ajal. Untuk itu, sebelum ajal datang,
seseorang harus sudah mempersiapkan bekal terlebih dahulu. Sehingga dapat
mempertanggungjawabkan amal perbuataanya selama hidup di dunia. Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga, karena sudah saatnya dipanggil
menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
k.
Pucung.
Tembang pucung merupakan tembang
terakhir dalam macapat. Tembang ini menggambarkan apabila ruh telah putus dari
raga kita, maka dapat dikatakan sudah menjadi bangkai dan kemudian dibungkus
dengan kain putih atau dipocong sebelum dikebumikan. Maka
Itulah berbagai macam
lagu-lagu Jawa bernuansa agama dan budaya yang diciptakan oleh Walisongo dalam mendakwahkan
agama Islam di bumi Jawa, dimana di setiap isi dari lagu-lagu tersebut sarat
akan makna yang begitu religius. Dalam menciptakan tembang-tembang tersebut
para Walisongo memasukkan nilai-nilai keislaman, serta bagaimana menjalani
hidup di dunia untuk mencapai kehidupan akhirat yang abadi dengan
sebaik-baiknya. Kita sebagai hamba Allah diharapkan agar senantiasa beribadah
dan selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala anugerah yang telah dilimpahkan.
Karena sejatinya, hidup di dunia hanyalah sejenak, kehidupan yang sesungguhnya
ialah di akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar