Cari Blog Ini

Selasa, 14 Juni 2016

MENGENAL LAGU-LAGU BERNUANSA AGAMA DAN BUDAYA KARYA ZAMAN KEWALIAN DI JAWA

MENGENAL LAGU-LAGU BERNUANSA AGAMA DAN BUDAYA
KARYA ZAMAN KEWALIAN DI JAWA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Ubaidilah Ahmad


Disusun oleh :
  Kamilatunnisa             (1403036006)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

I.          DATA
            Islam mulai diperkenalkan ke wilayah Jawa oleh para ulama-ulama pada masa itu, yang hingga saat ini lebih dikenal dengan Walisongo. Walisongo melaksanakan dakwahnya di wilayah Jawa yaitu dengan cara menggunakan tradisi maupun budaya lokal setempat, karena lebih mudah untuk diterima di masyarakat. Jika dilakukan inventarisasi secara intensif, maka akan ditemukan banyak bentuk kreasi budaya Islam yang dikembangkan oleh Walisongo dalam rangka menyesuaikan Islam dengan budaya setempat.
Jika kita lihat dari bidang kesenian, kita dapat mengetahui seni-seni yang telah diciptakan oleh Walisongo, diantaranya berupa tembang macapat, lagu-lagu pujian keagamaan, lagu-lagu dolanan serta bentuk-bentuk permainan untuk anak-anak dan remaja. Saat ini sebagian masyarakat Indonesia, khususnya wilayah Jawa banyak mengenal dan mengetahui tentang lirik dan langgam yang diciptakan oleh Walisongo. Para ulama tersebut bukan hanya menciptakan lagu-lagu Jawa saja, melainkan mereka juga tak lupa untuk memberikan nilai-nilai Islam melalui isi dari tembang tersebut
Di antara langgam macapat yang diliris Walisongo adalah gambuh, sinom, mijil, megatruh, kinanthi, dandang gula dan lain sebagainya. Walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang semacan lagu pelipur lara (uyon-uyon), seperti  ilir-ilir, bagi masyarakat umum. Untuk anak-anak dan remaja, Walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan, seperti jublak-jublak suweng dan jamuran. Selain itu, mereka juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti  jitungan dan trempolo kendang.
Dalam banyak hal, permainan-permainan tersebut dimainkan dengan disertai menyanyikan lagu dolanan. Lagu-lagu serta permainan-permainan tersebut seringnya dilakukan di sekitar masjid, sehingga lebih mendekatkan remaja serta anak-anak kepada masjid. Di samping itu pula, secara filosofis lagu-lagu dan model-model permainan tersebut memiliki nilai pedagogis. Dalam perspektif ini, ketika para anak-anak dan remaja menyanyikan lagu dolanan sedangkan para orang dewasa menyanyikan macapat, sebenarnya mereka tengah mempelajari serta meresapi nilai-nilai Islam yang ada di balik isi lagu-lagu tersebut.
II.          RELASI MAKNA
            Agama dan kebudayaan merupakan hal yang sangat erat ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan ada pula yang mengartikan bahwa agama dan budaya merupakan satu kesatuan yang utuh, namun sebenarnya agama dan kebudayaan memiliki kedudukan masing-masing. Agama dan kebudayaan merupakan hal yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Di tanah Jawa sendiri, sebagian masyarakat yang sangat kental memegang tradisi leluhurnya disebut kejawen. Pada dasarnya Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen, secara bahasa, maupun istilah. Didalam Al Qur’an dan Hadits juga tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Walisongo) ke tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran Islam
            Di dalam upaya penyebaran agama Islam di Jawa, Walisongo memakai cara yang halus, yakni menggunakan tradisi setempat sehingga lebih mudah untuk diterima di masyarakat. Di samping itu, Walisongo juga menciptakan lagu-lagu Jawa bernuansa agama dan budaya, yang jika ditelusuri lebih jauh, dapat diketahui bahwa lagu-lagu tersebut sarat akan makna. Isi substansinya sama, yaitu membumikan agama, menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru. Berikut sebagian lagu-lagu bernuansa agama dan budaya yang telah diciptakan oleh para Walisongo, beserta penjelasannya.
A.      Lir-ilir
Lagu ini merupakan karya dari salah satu Walisongo yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah satu-satunya Walisongo yang berdarah Jawa Asli, Kalijaga menyebarkan agama Islam melalui berbagai kesenian jawa, mulai dari wayang, lagu, dan kesenian-kesenian rakyat lainnya. Setiap menulis lagu, Sunan Kalijaga selalu menyelipkan makna dengan nilai filosofi kehidupan yang mendalam, tak terkecuali dengan lagu 'Lir-ilir' ini. Berikut lirik dari lagu Lir-ilir beserta maknanya:
1.    Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
2.    Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
3.    Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)  
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
4.    Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Makna yang terkandung di dalam bait 1 tersebut ialah kita sebagai hamba Allah disuruh untuk bangun, bangun di sini bukan berarti bangun dari tempat tidur. Melainkan kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, dan untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah menanamkan dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, apakah kita mau membiarkan tanaman iman kita menjadi mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga menjadi besar dan pada akhirnya memperoleh kebahagaiaan bagaikan pengantin baru.
Makna yang terkandung di dalam bait yang ke 2 ialah sedikit unik karena Sunan Kalijaga memilih kata “cah angon”, mengapa demikian, karena pada dasarnya cah angon adalah pengembala. Pengembala yang dimaksud di sini adalah kita sebagai hamba Allah harus mampu menggembalakan hati kita dari perbuatan maksiat dan menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Cah angon atau penggembala di sini diminta untuk memanjat pohon belimbing yang licin, yang kita ketahui bahwa buah belimbing bergerigi lima, itu diibaratkan sebagai lima rukun Islam. Jadi meskipun berat, kita harus tetap berusaha untuk menjalankan rukun islam tersebut, walaupun banyak rintangan yang menghadang. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
Maksud dari bait ke 3 lagu “lir-ilir” ialah bahwa pakaian taqwa harus kita bersihkan, yakni dengan menghindari segala larangan-Nya serta menghiasnya dengan akhlak mulia, seperti merajut pakaian hingga menjadi pakaian yang indah. Suatu saat kita akan meninggal dan mempertanggungjawabkan seluruh amal kita. Maka dari itu kita haruslah  memperbaiki  dan menyempurnakan ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakain taqwa kita terkadang terkoyak dan berlubang sana sini, maka kita harus senantiasa memperbaikinya, agar kita selalu siap jika suatu saat dipanggil oleh Allah SWT.
            Pada bait ke 3 dapat diketahui maknanya, yakni kita diharapkan agar melakukan hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat, yang pada lirik tersebut digambarkan kondisi padang bulan. Selain itu selagi kita masih mempunyai banyak kesempatan dan juga waktu luang, maka kita harus mohon ampun kepada Allah, menjalankan seluruh perintahNya serta menjauhi segala laranganNya.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa lagu “Lir-ilir” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ini memiliki makna yang begitu mendalam, terdapat tuntutan untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Bukan hanya beorientasi pada duniawi, tetapi juga bersiap-siap untuk menghadapi kehidupan yang kekal dengan senantiasa menjalankan segala perintah Allah SWT.       Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dan kita semua harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.
B.       Cublak-cublak suweng
Lagu ini diciptakan oleh Sunan Giri, salah satu Walisongo yang berjasa dalam proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya pulau Jawa, tidak hanya sekedar untuk didengar. Tapi, lagu ini membawa pesan mendalam bagi kita semua. Berikut ini syair dari tembang cublak-cublak suweng beserta penjelasannya.
 Cublak-cublak suweng..
suwenge teng gelenter..
mambu ketundhung gudel..
pak empo lera-lere..
sopo ngguyu ndhelikake..
Sir-sir pong dele kopong..
Sir-sir pong dele kopong..
Di dalam syair tembang cublak-cublak suweng diatas, cublak suweng diartikan sebagai tempat harta, karena dalam bahasa Jawa suweng berarti perhiasan anting-anting. Atau bisa diartikan pula bahwa cublak suweng merupakan tempat harta berharga, atau harta sejati. Yang mana harta sejati tersebut berupa kebahagiaan sejati yang sebenarnya sudah ada berserakan di sekitar manusia (Suwenge Teng Gelenter). Kemudian banyak orang berusaha mencari harta sejati itu. Bahkan orang-orang bodoh (diibaratkan Gudel) mencari harta itu dengan penuh nafsu ego, korupsi dan keserakahan, tujuannya untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Kalimat pak empo lera lere diartikan sebagai orang tua ompong yang kebingungan. Meskipun hartanya melimpah, ternyata itu adalah harta palsu, bukan harta yang sejati atau kebahagiaan sejati. Merekapun kebingungan karena dikuasai oleh hawa nafsu keserakahannya sendiri. Selanjutnya kalimat sopo ngguyu ndheliake bermakna bahwa barang siapa dapat menjadi orang yang bijaksana, dialah yang menemukan Tempat Harta Sejati atau kebahagian sejati. Dia merupakan orang yang tersenyum dalam menghadapi keadaan hidup. Maka dari itu, untuk mencapai ke tempat harta yang sejati adalah dengan melepaskan diri dari harta duniawi serta tidak mengikuti hawa nafsu, sehingga kita tdak tersesat.
C.       Gundul-Gundul Pacul
Tembang gundul-gundul pacul merupakan salah satu tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga bersama teman-temannya sewaktu masih remaja. Tembang ini memiliki makna yang begitu mendalam dan sangat mulia, berikut lirik dari tembang gundul-gundul pacul:
Gundul gundul pacul-cul..gembelengan…
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan…
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…
Di dalam tembang gundul-gundul pacul digambarkan seseorang yang berkepala plontos tanpa rambut dan itu ditujukan kepada para pemimpin. Sedangakn pacul merupakan lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Jadi dijelaskan bahwa seorang pemimpin sebenarnya bukanlah orang yang diberi mahkota, melainkan pembawa cangkul untuk mencangkul, atau bisa dikatakan mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.  Kemudian kata gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Sedangkan wakul sebagai simbol dari kesejahteraan rakyat. Saat ini banyak pemimpin yang lupa bahwa dia sebenarnya sedang mengemban amanah rakyat.
Jika saat ini pemimpin masih saja gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Apabila dipercaya untuk memegang amanah yang menyangkut kehidupan orang banyak, dia tetap bersikap tidak peduli. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil akhirnya menjadi hancur berantakan. Dari syair tembang tersebut mengandung makna tidak boleh sombong, dalam hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan ceroboh akan membawa kehancuran dan kegagalan. Maka dari itu seorang pemimpin haruslah bisa mengemban amanah yang telah diberikan kepadanya dengan baik.
D.      Sluku – Sluku Batok
Sluku-sluku bathok (Ayun-ayun kepala)
Bathoke ela-elo (Kepalanya geleng geleng)
sluku bathok (Ayun-ayun kepala)
Bathoke ela-elo (Kepalanya geleng geleng)

Si Rama menyang Solo (Si bapak pergi ke Solo)

Oleh-olehe payung motha (Oleh-olehnya payung mutha)
Mak jenthit lolo lobah (Secara tiba-tiba bergerak)
Wong mati ora obah (Orang mati tidak bergerak)
Nek obah medeni bocah (Kalau bergerak menakuti orang)
Nek urip goleka dhuwit. (Kalau hidup carilah uang)
Makna yang terkandung di dalam syair tembang Sluku-sluk bathok ialah bahwa manusia sebagai hamba Allah harus senantiasa membersihkan batinnya dan juga senantiasa berdzikir kepada Allah sebagai Tuhan seluruh alam. Berdzikir kepada Allah dilakukan dengan (ela-elo) menggeleng-gelengkan kepala sembari mengucapkan kalimat lafal laa illa ha illallah. Mengucapkan lafal tersebut dilaksanakan baik dalam keadaan senang maupun susah, dikala mendapat musibah maupun kenikmatan. Karena kita ketahui bersama bahwa hidup dan mati seseorang itu ada di tangan Allah SWT. Maka  dari itu, selagi kita masih diberi kesehatan, maka berbuat baiklah kepada sesama manusia dan beribadahlah kepadaAllah SWT.
E.       Turi putih
Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung.
Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung.
Cumleret tiba nyemplung, gumlundhung kembange apa.
Mbok kira, mbok kira, mbok kira kembange apa?
Tembang turi putih merupakan salah satu tembang yang diciptakan oleh Walisongo, ada yang mengatakan bahwa lagu ini diciptakan oleh Sunan Giri. Lagu yang sederhana ini memiliki sebuah makna nasihat akan kematian. Makna yang terdapat pada syair turi putih ialah pemberitahuan bahwa kelak manusia itu akan mengalami kematian dan akan dikuburkan di kuburan. Makna ini ada pada lirik Turi-turi putih, ditandur neng kebon agung. Kemudian pada lirik Cumleret tiba nyemplung diartikan sebagai Sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan waktunya cepat seperti kilat yang jatuh. Dan setelah jenazah dikubur maka akan menghadapi pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir terkait dengan amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Kemudian pada lirik selanjutnya simbol manusia yang sudah mati pasti akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Mbok ira, mbok ira, mbok ira kembange apa: mbok iro merupakan simbol manusia yang sudah meninggal, selalu akan ditanya amal apa yang sudah diperbuat serta bekal apa yang akan dibawa.
F.   Padang Bulan
Yo prakanca dolanan ing njaba (Ayo teman-teman bermain diluar)
Padhang mbulan padhangé kaya rina (Cahaya bulan yang terang benderang)
Rembulané kang ngawé-awé (Rembulan yang seakan-akan melambaikan   tangan)
Ngélikaké aja turu soré-soré (Mengingatkan kepada kita untuk tidak tidur sore-sore)
Makna yang terdapat pada tembang Padang Bulan di atas ialah memiliki makna yang religius. Maksud dari tembang tersebut adalah kita sebagai hamba Allah diminta untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan, dan juga untuk menikmati keindahan alam. Untuk menunjukkan rasa syukur itu kita diharapkan tidak tidur terlalu sore karena kita bisa melaksanakan ibadah di waktu malam. Dalam setiap syair tembang padang bulan mengandung nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa yang religius, menghargai alam, serta karakteristik kekeluargaan yang kental.
G.      Dhondong Opo Salak
Dhondhong apa salak (Dhondhong apa salak)
Dhuku cilik-cilik (duku kecil-kecil)
Andhong apa mbecak (Naik delman apa naik becak)
Mlaku dimik-dimik (Jalan pelan-pelan)
Di dalam syair tembang Dhondong opo salak, kita dihadapkan kepada 2 pilihan karakter. Ibarat buah kedondong, yang luarnya halus tetapi dalamnya kasar dan tajam, berbeda dengan buah salak yang memiliki luar yang kasar, tetapi halus di dalam. Kita diminta untuk memilih salah satunya, tetapi sebaiknya kita harus bisa berbuat baik secara lahir dan batin, yang diibaratkan bagaikan buah duku, karena sifat luar dan dalam sama-sama baik, halus, dan lembut.
Sedangkan syair andhong atau becak, kita juga dihadapkan pada 2 pilihan. Apakah kita mau menggunakan andong, dimana hewan digunakan sebagai tenaga penariknya, sedangkan becak merupakan angkutan yang menggunakan tenaga manusia sebagai penariknya. Sebaiknya kita sebagai manusia janganlah selalu menyusahkan serta mengandalkan bantuan dari manusia dan juga makhluk lain. Melainkan kita harus mampu mandiri, berjalan di atas kaki sendiri meskipun pelan-pelan dan tertatih-tatih.
H.      MACAPAT
Macapat merupakan tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat terdiri dari 11tembang, dimana setiap tembangnya memiliki makna sendiri-sendiri. Pada zaman Walisongo, tembang macapat digunakan sebagai salah satu metode dakwah dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Tembang macapat diyakini sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup manusia, dimulai sejak Tuhan meniupkan roh ke dalam janin hingga pada akhirnya manusia tersebut kembali kepada-Nya. Proses kelahiran sampai kematian seseorang digambarkan secara runtut  dalam tembang macapat.
a.         Maskumambang.
Maskumbambang merupakan tembang pertama pada macapat. Tembang ini melambangkan bayi yang masih dalam rahim atau kandungan ibunya, yang belum diketahui jenis kelaminnya. Mas berarti belum diketahui laki atau perempuan, sedangkan Kumambang, artinya hidupnya masih dialam kandungan ibundanya. Tembang ini banyak digunakan untuk mengungkapkan perasaaan nelangsa, sedih dan lain sebagainya.
b.        Mijil.
Mijil berati lahir. Pada masa ini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.

c.         Kinanthi.
Kinanthi berasal dari kata kanthi atau menuntun, yang artinya dituntun supaya dapat berjalan didunia ini. maka pada masa ini seorang anak yang masih kecil haruslah disertai oleh seorang pembimbing, agar bisa menjadi manusi yang sejati.
d.        Sinom.
Seiring berjalannya waktu, masa anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi pemuda atau remaja. Disini yang terpenting bagi remaja agar bisa menuntut ilmu yang setinggi-tingginya. Tembang ini emberi gambaran tentang sesorang yang menginjak usia muda, penuh dengan harapan dan angan-angan.
e.         Asmarandana.
Dalam asmarandana, dapat diartikan bahwa pada fase remaja atau pemuda, mereka mempunyai rasa cinta kasih kepada sesamanya baik itu pria maupun wanita, karena semua itu sudah merupakan kehendak/kodrat Yang Maha Kuasa.
f.         Gambuh.
Setelah para remaja tersebut memiliki rasa cinta kasih , kemudian kedua insan itu harus diberi persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh). Gambuh berasal dari kata nyambung/sesuai yang artinya kalau sudah pas selanjutnya dijodohkan antara pria dan wanita yang sudah saling mencintai, dengan harapan dapat menjalin kehidupan yang langgeng.
g.        Dhandhanggula.
Pada lagu ini menggambarkan keadaan seseorang yang berbahagia, apa yang dicita-citakan dapat terlaksana. Terlaksana mempunyai pasangan, mempunyai rumah, kehidupan yang kecukupan untuk keluarganya. Maka dari itu seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan dalam lagu dhandanggula.
h.        Durma.
Disela-sela perjalanan dalam upaya untuk mencapai kebahagian dan cita-cita dalam kehidupan berumah tangga, maka mereka diwajibkan untuk memberikan bantuan, pertolongan dan segala yang terbaik untuk keluarga dan sesama manusia.
i.          Pangkur.
Setelah mencapai kebahagian dalam bahtera rumah tangga, maka diharapkan mereka dapat meninggalkan hawa nafsu duniawi. Kata pungkur atau mungkur berarti belakang atau sudah lewat, dalam tradisi jawa setelah manusia menginjak usia tua, maka mereka harus bisa menjadi sesepuh yang bisa memberikan petuah-petuah kepada anak cucunya. Tembang pangkur ini biasanya banyak mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa guna memperbaiki (nyepuh) sesuatu agar menjadi lebih baik.
j.          Megatruh.
Setelah menjalani hidup dalam berumah tangga dan usia juga semakin renta, maka bagi orang tersebut tinggal menunggu datangnya ajal. Untuk itu, sebelum ajal datang, seseorang harus sudah mempersiapkan bekal terlebih dahulu. Sehingga dapat mempertanggungjawabkan amal perbuataanya selama hidup di dunia. Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga, karena sudah saatnya dipanggil menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
k.        Pucung.
Tembang pucung merupakan tembang terakhir dalam macapat. Tembang ini menggambarkan apabila ruh telah putus dari raga kita, maka dapat dikatakan sudah menjadi bangkai dan kemudian dibungkus dengan kain putih atau dipocong sebelum dikebumikan. Maka
Itulah berbagai macam lagu-lagu Jawa bernuansa agama dan budaya yang diciptakan oleh Walisongo dalam mendakwahkan agama Islam di bumi Jawa, dimana di setiap isi dari lagu-lagu tersebut sarat akan makna yang begitu religius. Dalam menciptakan tembang-tembang tersebut para Walisongo memasukkan nilai-nilai keislaman, serta bagaimana menjalani hidup di dunia untuk mencapai kehidupan akhirat yang abadi dengan sebaik-baiknya. Kita sebagai hamba Allah diharapkan agar senantiasa beribadah dan selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala anugerah yang telah dilimpahkan. Karena sejatinya, hidup di dunia hanyalah sejenak, kehidupan yang sesungguhnya ialah di akhirat kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar